Wednesday, August 11, 2010

Patrialis Harus Usut Mafia Pemerasan Napi Di daerah

Patrialis Harus Usut Mafia
Pemerasan Napi Di daerah

DPR: 20% Praktik Ini Masih Terjadi

Rakyat Merdeka,
Praktik mafia pemerasan terhadap narapidana (napi) bukan rahasia umum lagi. Praktik ini bukan saja terjadi di lembaga pemasyarakat (lapas) di pusat, tapi sudah merambah ke daerah.

Karena itu, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar harus membersihkan mafia pemerasan napi di beberapa lapas di daerah.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy dan anggota Komisi III DPR (bidang hukum) Ahmad Yani kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Tjatur mengaku masih redahnya moral pejabat lapas dalam menjalankan tugasnya, sehingga masih banyak pejabat lapas yang menutup mata atas tindak tanduk anak buahnya atau bahkan terjun langsung memeras para napi.

Hasil kunker komisi III DPR di beberapa daerah menyebutkan masih adanya praktik pemerasan kepada napi. Dia memperkirakan, praktik mafia pemerasan ini masih 20 persen terjadi di lapas daerah.

Misalnya, kata Tjatur, di Lapas Riau masih masih ada dana yang wajib disediakan para tahanan untuk pejabat lapasnya dan masih banyak lagi lapas yang meminta setoran ke napinya.

Tapi ada lapas yang baik seperti di Manado, Malang dan beberapa daerah lain.
Melihat fenomena pemerasan itu, kata dia, pihaknya mendesak Dirjen Lapas untuk menindaklanjuti hasil temuan Komisi III DPR agar tindakan amoral itu segera dibumi hanguskan di setiap lapas.

“Kalau dia (dirjen) tidak bisa, maka kita minta agar dia akan ganti. Jadi kita minta Menkumham untuk turun tangan mengatasi kasus seperti ini,” jelas Tjatur.
Jika kasus seperti itu dibiarkan, dia khwatir bisa merusak supremasi hokum dan merusak mental narapidana yang berkantong tebal.

“Bisa jadi mereka (tahanan) itu tidak memiliki efek jera atas tindakan yang mereka lakukan,” ucapnya.
Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani mengakui lembaga pemasyarakatan (lapas) di daerah masih jauh dari persyaratan sehingga sering terjadi pemerasan kepada napi baik oleh petugas maupun sesama napi sendiri.

Dari hasil kunjungan kerja ke daerah, kata Yani, hampir rata-rata lapas di daerah sudah over kapasitas dan kondisi fasilitas sudah rusak. Kecuali lapas di Balikpapan yang kondisinya baik dan memenuhi syarat.

“Kondisi lapas yang tidak menentu inilah yang membuat oknum tertentu untuk melakukan pemerasan,” jelas politisi PPP ini.

Yani mengakui kasus pemerasan di lapas sudah bukan rahasia umum lagi. “Tapi, memang, saat ini kasus (pemerasan) terhadap napi itu sudah untuk diungkap.”

Karena itu, dia mendesak Menkumham Patrialis Akba segera mengusut dan menindak petugas lapas yang terbukti memeras napi. “Jadi harus ada penindakan dari menteri dalam masalah ini. Selain itu, Menteri juga harus memperbaiki kondisi lapas di seluruh daerah,” jelasnya.

Sedangkan, terpidana kasus suap pengadaan 20 kapal patroli di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, Bulyan Royan mengakui adanya pemerasan di penjara.

Saat dihubungi Rakyat Merdeka di Lapas 2B Bangkiang, Kabupaten Kampar, Riau, kemarin, Bulyan mengaku adanya praktif mafia pemerasan di lapas yang baru dua bulan ditempatinya.

Bekas anggota DPR ini menceritakan, ketika akan dipindah dari LP Cipinang ke Lapas Bangkiang pada 29 Juni lalu, dirinya sudah diwanti-wanti agar memberi ‘jatah’ kepada petugas lapas di sana.

“Saat pindah, saya memberikan uang Rp 100 juta. Katanya untuk membangunan kamar tahanan yang saya akan tempati. Tapi, nyatanya kamar yang saya tempati belum selesai,” kata Bulyan sembari mengatakan kamar yang ditempati ukuran 3x3 meter. Di samping kamarnya, diisi oleh bekas kepala daerah di Riau.

Yang membuatnya miris adalah pihak lapas tidak memperbolehkan dirinya berobat. Padahal kondisinya kesehatannya sangat lemah setelah operasi jantung, penyakit ginjal, kencing manis dan lainnya.

“Saya berapa kali izin berobat tapi tidak ditanggapi pihak lapas. Ya, mereka minta setoran. Kondisi di sini (Lapas Bankinang) lebih kejam LP Cipinang. Kalau di Cipinang dikasih mereka ambil, kalu disini dikasih mereka minta yang lebih besar,” katanya.

Bulyan berharap, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar bisa turun ke lokasi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Sementara, Kalapas Bangkiang, Kabupaten Kampar, Riau, Bawon membantah tuduhan adanya pemerasan di lapas. “Itu bohong aja. Nggak (pemerasan) itu,” kata Bawon saat dihubungi, tadi malam.

Dia mengakui, kondisi Lapas Bangkiang tidak memenuhi syarakat. “Di sini sudah over kapasitas saja. Seharusnya untuk kapasitas 163 orang, tapi jumlahnya sudah 450 napi,” paparnya. CR-BCg/QAR

Tuesday, August 10, 2010

Di Bulan Puasa, Incumbent Jangan Umbar Janji Palsu

Di Bulan Puasa, Incumbent
Jangan Umbar Janji Palsu

Ketua MUI: Seba Itu Bukan Ibadah…

Sejumlah tokoh agama menyerukan kepada incumbent, calon kepalal daerah untuk tidak berkampanye dan mengumbar janji palsu pada saat bulan suci ramadhan.

Dikhawatirkan kalau bulan puasa bisa dijadikan incumbent atau calon kepala daerah lain untuk membungkus kampanye dengan nuansa Islami. Misalnya, berbuka puasa bersama, bantuan sembako kepada masyarakat dan lainnya.

Menurut Ketua Umum PBNU Prof Dr Said Aqil Siradj, momentum ramadhan sebaiknya digunakan amal saleh, bukan untuk mengumbar janji palsu.

“Mungkin tidak hanya di bulan Ramadhan, tapi hari-hari biasa juga harus diisi dengan hal-hal positif.

Jika kepala daerah ngoblral janji dan hanya sebatas omong kosong, maka hal itu tidak diperkenankan. Sebab
janji itu adalah hutang, maka kalau berjanji maka wajib baginya untuk melunasinya,” kata Said kepada Rakyat Merdeka kemarin.

Meski demikian, Said tidak melarang calon kepala daerah yang berniat ibadah dengan cara bersosial. Misalnya, mengadakan acara pengajian ataupun buka puasa bersama dengan anak yatim.

“Asalkan niatnya baik, bukan untuk kampanye. Kalau itu bagian dari hablumninanas, maka diperbolehkan,” jelasnya.

Senada diungkapkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidan menegaskan, kampenye calon kepala daerah yang dibungkus dengan nuansa Islami bukan termasuk ibadah, tapi termasuk perbuatan sia-sia.

“Innamal a’amalu binniat (perbuatan itu tergantung pada niatnya).Jika perbuatan itu dilandasi dengan niat tulus mengharap ridha dari Allah, maka Insya Allah mendapatkan pahala, tapi tidak sebaliknya,” katanya kepada Rakyat Merdeka kemarin.

Dia juga tidak memperkenankan momen bulan puasa di rusak dengan membagi-bagikan sesuatu dengan harapan mendapatkan suara dari masyarakat.

“Memang agak sulit mengira-ngira niatan seseorang, tapi kalau niatnya itu selain karena Allah, maka itu tidak diperbolehkan,” jelasnya.
Meski demikian, dia tidak menghalang-halangi setiap orang, termasuk calon kepala daerah untuk melakukan amal shaleh.

Selian itu, dia juga mengimbau kepada masyarat agar tidak berprasangka buruk terhadap calon kepala daerah yang membuat kegiatan religi.
“Kalau tidak ada bagi-bagi uang ataupun obral janji, dan hanya sekadar silaturahim itu bagus,” ucapnya.

Sementara, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Gofur Sangaji mengimbau, kepada para calon kepala daerah yang sedang berkampanye, agar jangan menodai bulan suci Ramadhan dengan intrik-intrik politik. Jika manuver-manuver politik itu dilakukan, dikhawatirkan akan mengganggu masyarakat dalam menjalankan ibadah di Bulan Ramadhan.

“Sebaiknya, di bulan suci ini para kandidat menahan diri. Jangan sampai ada intrik-intrik politik untuk kampanye terselubung,” tuturnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Gofur menilai, kampanye terselubung dalam bentuk apapun tidak akan efektif selama Bulan Ramadhan. Karena menurut dia, saat Bulan Ramadhan, masyarakat lebih fokus pada peningkatan ibadah di bulan puasa.

“Masyarakat tidak akan tertarik dengan intrik politik di bulan puasa. Karena perhatian masyarakat sudah tertuju pada peningkatan amal ibadah di bulan puasa,” katanya.
Meski begitu, Gofur mengingatkan kepada para kandidat dan incumbent agar dapat menahan diri untuk tidak berkampanye selama bulan puasa. Apalagi fenomena kampanye terselubung sudah menjadi hal mudah untuk dilakukan. karena kampanye terselubung di bulan Ramadhan sulit dideteksi oleh KPUD maupun bawaslu.

“Dibutuhkan etika moral dari para kandidat untuk dapat menahan diri. Karena kampanye terselubung memanfaatkan momen bulan Ramadhan sangat mudah dilakukan,” ungkapnya.

Karena itu, masyarakat agar cerdas memfilter mana yang kampanye trselubung mana yang memang terdapat unsur-unsur kampanye.
QAR/CR-BCG

Monday, August 9, 2010

Terkait Anggota KPU Minder Saat Bertemu Presiden

Terkait Anggota KPU Minder
Saat Bertemu Presiden

Putu: Nunduk Itu
Kesantunan Politik,
Bukan Kurang Pede

Rakyat Merdeka,
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Gusti Putu Artha geram dengan tuduhan kalangan Dewan bahwa komisioner KPU pusat minder dan nunduk-nunduk ketika bertemu pejabat tinggi, seperti presiden, menteri dan DPR.

“Sikap tunduk-tunduk anggota KPU saat bertemu presiden jangan ditafsirkan sebagai bentuk minder kepada presiden. Terlalu artifisial dan dangkal tafsir seperti itu. Sikap anggota KPU seperti itu adalah sikap kesantunan politik, bukan kurang pede (percaya diri),” kata Putu kepada Rakyat Merdeka.

Perlu diketahui, anggota Komisi II DPR Agus Purnomo mengatakan, anggota KPU pusat sekarang mayoritas berasal dari daerah dan masih mempunyai hambatan psikologis dalam komunikasi. Sehingga, lanjutnya, anggota KPU tidak mampu menjaga martabat lembaganya karena tidak pede (percaya diri).

“Secara kompetensi, anggota KPU sekarang pas-pasan sehingga ketika berhadapan dengan presiden, menteri dan bertemu DPR, KPU sudah merasa underdog. Jadi lembaga KPU kan harus independen. Dengan presiden dan DPR hubungannya juga harus independen,” paparnya.

Melanjutkan ketarangannya, Putu berharap, masyarakat tidak melihat hubungan artifisial seperti itu, tapi perlu dilihat dari berbagai keputusan yang telah diambil KPU pusat.

“Justru, kita (KPU pusat) tegas dan berani dalam mengambil keputusan sesuai peraturan meskipun dari daerah,” jelas putera asal Bali ini.

Putu lalu mencontohkan ketegasan sikap KPU ketika menolak Gus Dur mencalonkan sebagai presiden. Bahkan, lanjutnya, lembaga pimpinan Abdul Hafiz Anshary ini tetap konsisten dalam putusan daftar pemilih tetap (DPT) pileg maupun Pilpres 2009.

“Padahal, banyak pihak, seperti dari kubu Megawati menggugat dan mempersoalkan DPT.”
Terkait pernyataan Agus Purnomo bahwa calon anggota KPU pusat harus berasal dari Jakarta, bukan dari daerah, Putu mangatakan, aturan itu diskriminatif.

Dia yakin, aturan yang sudah di sepakati Komisi II DPR ini bisa dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab hal ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD).

“Jika aturan aturan itu dituangkan dalam revisi undang-undang politik, maka peraturan itu bisa digugat ke MK dan dibatalkan. Sebab aturan itu menutup kesempatan orang daerah untuk jadi anggota KPU,” paparnya.

Ditegaskan, kemampuan komunikasi dan kredibilitas itu tidak ada hubungannya dengan masalah domisili daerah atau Jakarta.
Tapi, hal itu bisa dilihat dari mentalitas anggota itu yang dibangun dari pengalaman.

“Kalau calon anggota KPU dari Jakarta itu ternyata tidak punya pengalaman berkomunikasi dengan pejabat tinggi negara, ya sama saja bohong.” katanya.
Putu berharap, proses rekrutmen calon anggota KPU ke depan jangan dihubungkan dengan masalah domisili, tapi bagaimana proses itu mampu menjaring orang-orang yang mandiri dan punya kemampuan berkomunikasi.

“Yang perlu dilakukan Komisi II DPR adalah melakukan proses rekrutmen agar mampu menjaring orang yang berkompetensi, berkarakter, dan mampu beradaptasi dengan Jakarta,” tandasnya. CR-BCG

Putusan MK Liar Bikin Sistem Pilkada Kacau DPR Bakal Tanya Mendagri Soal Sengketa Kobar

Putusan MK Liar Bikin
Sistem Pilkada Kacau

DPR Bakal Tanya Mendagri Soal Sengketa Kobar

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir kemenangan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sugianto-Eko Soemarno di Pilkada Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah (Kalteng) masih berbuntut panjang.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampouw menilai MK banyak melahirkan putusan di luar kewenangan yang diamanatkan undang-undang seperti putusan sengketa Pilkada Kobar.

“Kita harus menghentikan putusan MK yang dibuat di luar wewenangnya. Ini liar dan membuat sistem pilkada kacau," ujar Jerrry kepada Rakyat Merdeka.
Jerry lalu mencontoh kasus Pilkada Kobar. Menurutnya, KPUD tak bisa melaksanakan putusan MK yang mendiskualifikasikan keputusannya.

“Lalu siapa yang melaksanakan? Apakah KPUD, DPRD, Depdagri atau MK? Jika putusan MK tak ada yang mengeksekusi bagaimana?" tanyanya.

Perlu diketahui, polemik Pilkada Kobar muncul ketika, pada 7 Juli 2010, MK mengeluarkan putusan No 45/2010 yang membatalkan putusan KPUD Kobar yang memenangkan pasangan Sugianto-Eko Soemarno sebagai Bupati-Wakil Bupati terpilih.

Lalu, MK memerintahkan KPUD Kobar untuk menerbitkan surat keputusan baru yang memenangkan pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto sebagai Bupati-Wakil Bupati Kobar terpilih.
Tapi, KPUD Kobar menolak melaksanakan putusan MK itu. Mendagri pun tidak bisa melaksanakan putusan MK itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo menilai, MK tidak konsisten dalam putusannya mengenai sengketa pilkada.

“Misalnya kasus money politics di Pilkada Nias dan Kobar putusannya bisa berbeda. Jadi, putusan MK ini menyebabkan penolakan dari KPUD, masyarakat di Kobar,” jelas Ganjar kepada Rakyat Merdeka.

Meski demikian, kata Ganjar, Komisi II DPR akan berhati-hati dan tidak akan gegabah dalam memutuskan sengketa Pilkada Kobar.

Karena itu, lanjutanya, Komisi II DPR bakal mempertanyakan sengketa Pilkada Kobar ini dengan Mendagri Gamawan Fauzi dalam raker.
Selain itu, anggota akan menanyakan pengangkatan carateker atau pejabat sementara Bupati Kobar.

“Setelah reses kita akan menggelar raker dengan Mendagri untuk
mengkonfirmasi masalah ini. Tak hanya sengketa Pilkada Kobar saja, tapi sengkeda pilkada lain,” tandasnya.

Sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi di acara Ulang Tahun Ke-48 Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) mengungkapkan sudah menunjuk careteker atau Plt Bupati Ahmad Ridwansyah. Hal ini merupakan jalan tengah untuk mengisi kekosongan hingga terpilih kepala daerah definitif.

Sementara, kuasa hukum pasangan Bupati- Wakil Bupati Sugianto dan Eko Soemarno, Humprey Djemat menyatakan banyak kejanggalan dalam putusan MK di Pilkada Kobar.
Misalnya, putusan MK dinilai kental unsur pidana, saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan MK hampir seluruhnya dari pemohon, saksi-saksi itu diduga memberikan keterangan palsu.

Kejanggalan lainnya, hakim MK telah melampaui kewenangannya dengan memberikan amar yang mendiskualifikasi pasangan Sugianto-Eko Soemarno dan memeritahkan KPUD Kobar mengeluarkan SK baru yang memenangkan pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto.

Tidak hanya itu. Katanya, putusan MK itu salah. MK membatalkan putusan KPUD Kobar No 62/2010 mengenai jumlah suara. Harusnya, MK membatalkan SK No 63/2010 soal penetapan pasangan calon Bupati-Wakil Bupati Kobar terpilih. “Jadi, MK tidak cermat dan terkesan memaksakan,” katanya.

Ditempat terpisah, bekas hakim MK, Laica Marzuki, menyatakan putusan MK soal Pilkada Kobar tidak salah. MK telah menjalankan fungsinya untuk mengadili dan telah memutus perkara sesuai dengan keyakinannya. “Itu sudah final dan mengikat,” kata Laica kepada Rakyat Merdeka.

Tapi, katanya, manakala ada dugaan saksi-saksi palsu di Pilkada Kobar, maka ini jadi kewenangan penyidik polri untuk mengusutnya dan kasus pidananya dilanjutkan kekejaksaan.

“Mari kita menahan diri untuk tidak berpikir macam-macam terhadap MK,” katanya.
Sedangkan, anggota Hakim MK Akil Mukhtar menilai, pihak yang melawan kepada putusan MK adalah perbuatan melawan hukum.

“Mana boleh KPUD itu menolak putusan MK. Dalam Undang-undang pemilu sudah ditegaskan bahwa KPUD wajib melaksanakan keputusan dari Mahkamah Konstitusi,” tegasnya kepada Rakyat Merdeka, Jum’at (6/8).

Menurut Akil, jika KPUD menolak putusan MK hal tersebut adalah preseden buruk dalam proses demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Karena, kata dia, pengadilan sengketa pemilu itu adalah bagian dari tahapan pemilu yang keputusannya final dan mengikat.

“KPUD itu tidak ada dalam posisi menilai putusan MK. Tapi posisinya adalah pelaksana putusan MK. Kalau KPUD masih menolak berarti KPUD telah melakukan perlawanan kepada hukum,” jelasnya.

Ditambahkan, jika KPUD tidak melaksanakan putusan MK, kata Akil, KPUD bisa dituduh melakukan tindakan unprofesional karena telah memihak kepada salah satu calon.
“KPUD bisa diajukan ke badan kehormatan dan bisa diberhentikan dengan tidak hormat karena sudah berpihak kepada salah satu calon. Tidak boleh KPUD berpihak kepada salah satu calon,” paparnya.

Lebih lanjut, Akil menilai, jika KPUD tidak melaksakan putusan MK, maka akan mengancam proses demokrasi dan penegakan hukum.

“Jika ada keputusan sesuai dengan pilihannya (KPUD), maka keputusan MK dilaksanakan. Tapi jika tidak sesuai dengan harapan, KPUD tidak melaksakan. Lalu apa gunanya sidang di MK.”

Terkait pengangkatan caretaker di Kota Waringin Barat oleh gubernur, Akil menilai hal tersebut sudah sesuai dengan dengan ketentuan undang-undang. Hal tersebut dikarenakan belum ada keputusan dari KPUD terkait siapa pemenang pilkada di Kobar.

“Pengangkatan careteker sebagai penanggung jawab sementara oleh gubernur sudah sesuai ketentuan undang-undang. Karena dalam undang-undang tidak boleh ada kekosongan kepemimpinan,” tutupnya.
CR-BCG/QAR

Sunday, August 8, 2010

Soal Penolakan Calon Anggota KPU Dari Daerah DPR Dinilai Diskriminatif Dan Sudah Langgar UUD

Soal Penolakan Calon Anggota KPU Dari Daerah

DPR Dinilai Diskriminatif
Dan Sudah Langgar UUD

Rakyat Merdeka,
Sejumlah pengamat mengecam kebijakan Komisi II DPR yang menolak calon anggota KPU yang berasal dari daerah. Kebijakan wakil rakyat itu merupakan bentuk diskriminatif dan malanggar Undang-undang Dasar (UUD).

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Electorall Reform (Cetro) Hadar Nafiz Gumay kepada Rakyat Merdeka.
Hadar meminta DPR untuk tidak menjadikan asal daerah sebagai pertimbangan dalam memilih calon anggota KPU. Sebab, katanya, peraturan yang mensyaratkan calon anggota KPU harus berasal dari Jakarta adalah bentuk diskriminatif antara Jakarta dan daerah.

“Calon anggota KPU jangan dibatasi hanya dari Jakarta. Yang penting masih dalam wilayah NKRI, dan mempunyai kemampuan dalam menjalankan tugas-tugas KPU maka siapa saja bisa mencalonkan diri,” jelas Hadar.

Sebelumnya diberitakan, anggota Komisi II DPR Agus Purnomo mengungkapkan calon anggota KPU ke depan harus berasal dari Jakarta.
Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan hambatan komunikasi anggota KPU saat bertemu dengan pejabat tinggi negara seperti presiden, menteri dan DPR.
Hadar mengakui, anggota KPU sekarang memang punya banyak masalah termasuk dalam membangun komunikasi dengan para pejabat tinggi.

Namun, lanjutnya, hal tersebut lebih dikarenakan anggota KPU saat ini tidak bisa menempatkan posisi lembaga KPU pada tempat yang semestinya.
“Harusnya anggota KPU bisa duduk sama tinggi dengan para pejabat lain. Dengan begitu, KPU bisa berani mengambil keputusan dengan tegas tanpa intervensi dari pihak lain,” tegasnya.

Dijelaskan, ketidakmampuan anggota KPU dalam membangun komunikasi bukan karena anggota KPU berasal dari daerah, melainkan karena anggota KPU tidak berani dan mandiri.
“Masalah menjalin komunikasi itu bukan karena mereka berasal dari daerah. Tapi karena anggota KPU-nya yang tidak punya karakter dan tidak mandiri,” ugkapnya.
Menurutnya, ada banyak orang dari daerah yang mempunyai karakter sehingga tidak bisa diintervensi.

Hadar justru menilai, kegagalan anggota KPU saat ini adalah bentuk kegagalan Komisi II DPR dalam memilih anggota KPU yang berkualitas.

“Dulu sudah banyak kalangan yang menolak anggota KPU sekarang, tapi tetap saja dipilih. Ini kan karena dalam pemilihannya bukan atas penilaian kemampuan, tapi atas dasar kepentingan partai-partai,” tandasnya.

Senada diungkapkan Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif Sugiyanto. Menurut Sugiyanto, peraturan yang mensyaratkan calon anggota KPU harus berasal dari Jakarta adalah bentuk pelanggaran terhadap Undang-undang Dasar (UUD).

“Tidak hanya diskriminatif, tapi aturan tersebut melanggar Undang-undang Dasar. Dalam undang-undang kan sudah jelas ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Jika peraturan tersebut dijalankan, maka orang dari Papua atau daerah lain tidak bisa menjadi anggota KPU dong,” kata Sugiyanto kepada Rakyat Merdeka.

Katanya, jika peraturan orang daerah tidak boleh jadi calon anggota KPU itu dicantumkan dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, maka aturan itu melanggar UUD.

“Tapi, jika hanya menjadi kesepakatan Komisi II dan dijadikan pertimbangan dalam memilih calon anggota KPU, berarti Komisi II sudah melakukan kejahatan politik, berarti Komisi II DPR sudah merekayasa dan melakukan kejahatan politik,” tegasnya.
Terkait hamabatan psikologis anggota KPU dalam komunikasi dengan pejabat tinggi negara, Sugiyanto menilai hal tersebut bukan dikarenakan anggota KPU berasal dari daerah.

Tapi, masih katanya, anggota KPU tidak menyadari pentingnya lembaga KPU dalam sistem negara demokrasi yang keberadaannya diakui oleh undang-undang.

“KPU kan lembaga yang tidak kalah pentingnya dalam menjalankan demokrasi Indonesia. Anggota KPU harus menyadari betul bahwa lembaga KPU diakui oleh undang-undang. Jadi tidak boleh merasa rendah pada saat bertemu pejabat tinggi negara seperti Presiden, menteri dan DPR,” tuturnya.

Menurutnya, dampak psikologis anggota KPU saat bertemu pejabat tinggi negara karena dana anggaran KPU dipersulit pencairannya.

“Setiap ada pemilu, KPU kan harus mengajukan dananya ke presiden dengan persetujuan DPR. Nah, mungkin karena takut dipersulit itu anggota KPU jadi merasa rendah,” tandasnya.
CR-BCG

Saturday, August 7, 2010

Soal Ide Pemindahan Ibukota Ke Daerah Lain Pemerintah Diimbau Berhenti Berwacana

Soal Ide Pemindahan Ibukota Ke Daerah Lain

Pemerintah Diimbau
Berhenti Berwacana

Rakyat Merdeka,
Pakar tata ruang perkotaan Sonny Harry mengimbau pemerintah berhenti mewacanakan pindah atau tidaknya ibukota Jakarta.
Seharusnya, katanya, pemerintah sudah melangkah pada isu analisis ‘kemana pindahnya ibukota.

“Mestinya pemerintah bukan lagi mengkaji pindah atau tidaknya ibukota. Tapi sudah harus ditingkatkan menjadi mana daerah yang tepat untuk dijadikan ibukota,” kata Sonny kepada Rakyat Merdeka disela-sela acara dialog kenegaraan bertema “Urgensi Pemindahan Pusat Pemerintahan Ke Kota Lain Selain Jakarta” di Gedung DPD, Jakarta.

Menurutnya, ada empat daerah yang cocok jadi tempat pemindahan ibukota. Yakni Palangkaraya, Banjarmasin, Makassar dan Lampung. Yang paling berpeluang adalah Palangkaraya.

“Palangkaraya daerah yang cocok karena masyarakatnya tidak ada resistensi dalam sosial politik. Kedua, daerah yang termasuk kemungkinan resiko demografi disaster dan human disaster sangat kecil.”

Selain itu, katanya, Palangkaraya adalah kota yang dibangun sejak Indonesia merdeka. Sementara kota lain sudah ada sejak jaman Belanda.
Sonny mengakui dibutuhkan dana besar untuk memindahkan ibukota.

“Memang biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan ibukota sangat besar, tapi manfaatnya jauh lebih besar. Saat ini kerugian akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp 60 triliun per tahun,” paparnya.

Sebelumnya, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) Arie Sujito menilai wacana pemindahan pusat pemerintahan Indonesia ke daerah lain bukan hal tabu.

Sebab beberapa negara sudah melakukannya seperti Jerman, Australia, dan Malaysia.
"Wacana pemindahan pusat pemerintahan Indonesia dari Jakarta ke daerah lain merupakan hal wajar. Wacana itu bisa direalisasikan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, di antaranya akses dan letak geografis," kata Arie.

Menurutnya, ada beberapa daerah yang layak dijadikan alternatif sebagai pusat pemerintahan Indonesia, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng).

"Yogyakarta layak menjadi alternatif karena memiliki akses dan letak geografis yang strategis," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM itu.
Dijelaskan, letak Yogyakarta di tengah-tengah Indonesia menjadikan aksesnya cukup tinggi. Selain itu, perjalanan sejarah Yogyakarta yang pernah menjadi ibukota sementara juga telah menjadi bukti.

"Tapi, Yogyakarta tidak tepat jika dijadikan pusat pemerintaan sekaligus pusat perdagangan dan perindustrian. Saya tidak setuju jika pemerintah pusat akan melakukan pemindahan pusat pemerintahan sekaligus pusat perdagangan dan perindustrian," katanya.

Dikatakan, pemindahan ibukota yang di dalamnya jadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan perindustrian seperti Jakarta akan menimbulkan perubahan sosial yang signifikan. Hal itu hanya akan memindahkan masalah kompleks yang ada di Jakarta ke daerah lain.

"Saya tidak merekomendasikan jika pusat pemerintahan digabung dengan pusat perdagangan dan perindustrian. Akan lebih baik dan efektif jika pusat perdagangan dan perindustrian tetap di Jakarta, sedangkan pusat pemerintahan dipindah ke daerah lain," tuturnya.
CR-BCG

Friday, August 6, 2010

DPR Tolak Calon Anggota KPU Berasal Dari Daerah

Harus Lima Tahun Tinggal Di Jakarta

DPR Tolak Calon Anggota
KPU Berasal Dari Daerah

Rakyat Merdeka.
Tampaknya, calon anggota Komisi Pemilihan Umun (KPU) dari daerah tak punya kesempatan untuk mencalonkan diri jadi anggota KPU pusat.
Pasalnya, DPR membuat peraturan yang mengatakan bahwa anggota KPU pusat harus berdomisili minimal lima tahun di Jakarta.

Demikian diungkapkan anggota Komisi II DPR Agus Purnomo kepada Rakyat Merdeka seusai diskusi “Evaluasi UU Bidang Politik dan Rekomendasi untuk Pemilu 2014” di kantor Akbar Tandjung Institute, Jakarta, kemarin.

“Meski tidak dicantumkan secara eksplisit dalam RUU, tapi peraturan
(calon anggota KPU dari Jakarta) itu sudah jadi kesepakatan di Komisi II DPR. Jadi, ke depan calon anggota KPU pusat minimal pernah tinggal di Jakarta atau sekurang-kurangnya pernah hidup di Jakarta lah,” kata Agus.

Menurut politisi asal PKS ini, anggota KPU pusat sekarang mayoritas berasal dari daerah dan masih mempunyai hambatan psikologis dalam komunikasi. Sehingga, lanjutnya anggota KPU tidak mampu menjaga martabat lembaganya karena tidak pede (percaya diri).

“Lembaga KPU kan harus independen. Dengan presiden dan DPR hubungannya juga harus independen.
Secara kompetensi, anggota KPU sekarang pas-pasan sehingga ketika berhadapan dengan presiden, menteri dan bertemu DPR, KPU sudah merasa underdog,” paparnya.


Agus berharap dengan dipilihnya calon anggota yang berdomisili di Jakarta, anggota KPU mampu mengatasi hambatan psikologi dan bisa segera beradaptasi.
Memang, Agus mengakui, butuh waktu untuk menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan di Jakarta.

“Jangan sampai anggota KPU pusat itu dipermainkan. Anggota KPU itu harus mengenal lingkungan Jakarta, mengenal trik-triknya, mengenal pergaulan, kenal mafia-mafia Jakarta, termasuk prestige lembaga KPU sendiri,” jelasnya.

Ditanya kenapa aturan itu tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang, Agus mengatakan, hal tersebut sudah menjadi kesepakatan di Komisi II DPR.
Agus khawatir, jika dicantumkan dalam undang-undang, maka akan menyinggung perasaan orang di luar Jakarta karena menganggap mereka tidak mampu.

Karena itu, DPR akan meminta kepada tim seleksi agar lebih proaktif dalam mencari calon anggota KPU. “Penerapannya nanti ada pada tim seleksi. Tim seleksi akan seperti tim pemburu calon. Kita akan proaktif mencari calon,” katanya.

Di tempat sama, bekas Ketua DPR Akbar Tandjung menilai, rencana DPR memilih calon anggota KPU yang berdomisili di Jakarta itu keterlaluan.

“Aturan itu tidak relevan. Dari mana saja bisa, asal memenuhi persyaratan dan lolos tahap seleksi. Jadi, semua bisa menjadi anggota KPU, tak perlu ada persyaratan yang mengatakan bahwa calon anggota KPU harus berdomisili di Jakarta,” jelas Akbar kepada Rakyat Merdeka.

Menurut Akbar, memilih calon anggota KPU jangan dilihat dari mana dia berasal, tapi harus lebih disesuaikan pada kemampuan calon anggota tersebut dengan fungsinya di KPU.

“Banyak orang dari daerah yang mempunyai pengalaman yang cukup.
Itu bisa dilihat saat fit and poper test. Pengalaman di daerah sangat berguna bagi kepentingan KPU pusat,” tuturnya.

Dia khawatir, jika aturan tersebut diterapkan akan memberi kesan bahwa orang daerah tidak punya kemampuan. “Ini sudah keterlaluan karena menganggap orang daerah tidak mempunyai wawasan dan kemampuan komunikasi dengan tokoh yang ada di pusat. DPR jangan mengambil under estimate lah. Saya yakin mereka bisa cepat melakukan adaptasi dengan di pusat,” bela Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar ini.

Menurut Akbar, banyak orang daerah bisa mengatasi hambatan psikologis karena banyak orang daerah yang sering bertemu dengan tokoh-tokoh atau pejabat di pusat.
“Kan mereka juga punya latar pendidikan yang cukup. Walaupun memang berasal dari daerah,” tutupnya.

Bekas Ketua DPR ini mengakui KPU saat ini kurang mempunyai kemampuan terutama dalam komunkasi dengan lembaga tinggi negara. CR-BCG