Thursday, August 5, 2010

Sumut Terkorup Disusul Jawa Barat Dan Jakarta

ICW: APBD Paling Banyak Dikorupsi

Sumut Terkorup Disusul
Jawa Barat Dan Jakarta

Grafik korupsi di daerah makin menanjak. Saat ini, APBD menjadi bancakan para pejabat, DPRD dan pihak swasta di daerah.
Indonesian Coruption Watch (ICW) mengungkapkan pada 2010 (1 Januari-30 Juni) tren korupsi di Indonesia meningkat 100 persen dari tahun sebelumnya.

Menurut Koordinator Divisi Investigasi ICW Agus Sunaryanto, jika pada 2009 ditemukan 86 kasus korupsi, pada 2010 meningkat jadi 176 kasus korupsi yang terjadi di level pusat dan daerah. Kerugian negara akibat korupsi itu mencapai Rp 2,1 triliun.
Dari hasil investigasi ICW, katanya, ditemukan bahwa sektor keuangan daerah atau APBD merupakan sektor paling dominan dikorupsi.

“Tapi, modusnya sudah bergeser dari penyalahgunaan anggaran menjadi penggelapan anggaran,” jelasnya dalam konfrensi pers di kantor ICW, Jakarta Selatan, kemarin.
Dalam laporan ICW disebutkan, kasus korupsi terjadi di 27 provinsi. Dari semuanya itu, provinsi yang paling tinggi kasus korupsinya adalah Sumatera Utara dengan 26 kasus.

Peringkat dua diduduki Jawa Barat dengan 16 kasus dan disusul DKI Jakarta (16 kasus). Di peringkat berikutnya Nanggroe Aceh Darussalam (14 kasus), Jawa Tengah (14 kasus).

Agus kemudian mencontohkan kasus korupsi APBD yakni pembobolan kas daerah Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar, serta kasus korupsi APBD Indragiri Hulu sebesar Rp 116 miliar.
Menurut Agus, dari 176 kasus korupsi itu, ada 62 kasus menggunakan modus penggelapan. Kemudian, 52 kasus dengan modus mark up, 18 kasus dengan modus penyalahgunaan anggaran, dan tujuh kasus dengan modus suap.

Bahkan, ICW menemukan tambahan aktor baru pelaku korupsi dana APBD. Jika yang sebelumnya di dominasi anggota DPRD, sekarang di dominasi pihak swasta.
“Ada peningkatan keterlibatan aktor dari swasta khususnya dengan latar belakang jabatan komisaris atau direktur perusahaan swasta. Setidaknya 61 orang sudah ditetapkan sebagai swasta,” papar Agus.

Menurut Agus, tipologi kasus yang melibatkan aktor dari swasta umumnya terkait pengadaan barang dan jasa (procurement).
“Ada upaya massif di kalangan sektor swasta untuk menggerogoti anggaran daerah melalui kegiatan pengadaan.”

Di tempat sama, peneliti ICW Febri Hendri menilai, penyebab tingginya kasus korupsi APBD di daerah dikarenakan lemahnya pengawasan dari pihak DPRD.

“Kapasistas anggota DPRD itu masih rendah. Masih banyak anggota DPRD yang belum memahami apa itu unsur-unsur korupsi. Bagaimana mau mengawasi tindak korupsi, jika apa yang disebut korupsi saja tidak tahu,” katanya.

Dijelaskan, bergesernya modus operandi korupsi karena dengan menggelapkan dana APBD, maka para koruptor lebih mudah menutupi tindak korupsinya daripada dengan modus penyalahgunaan anggaran.

“Dalam modus penyalahgunaan anggaran, pelaku bisa dengan mudah disidik. Sementara modus penggelapan sulit untuk disidik oleh pihak berwenang,” terangnya.

Modus penyalahgunaan anggaran, kata Febri, biasanya marak ketika menjelang pilkada. Sedangkan modus penggelapan, umumnya terkait dengan penyimpangan dana yang langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana bantuan sosial (bansos).

Karena itu, kata Febi, untuk mengungkap terjadinya korupsi, maka lembaga audit negara seperti Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dan BPKP melakukan audit investigatif.

“BPK harus lebih mempertajam audit. BPK harus berani melakukan audit investigasi. Jangan hanya mengaudit secara umum atau audit kepatuhan saja,” tegasnya. CR-BCG

No comments:

Post a Comment