Sunday, August 8, 2010

Soal Penolakan Calon Anggota KPU Dari Daerah DPR Dinilai Diskriminatif Dan Sudah Langgar UUD

Soal Penolakan Calon Anggota KPU Dari Daerah

DPR Dinilai Diskriminatif
Dan Sudah Langgar UUD

Rakyat Merdeka,
Sejumlah pengamat mengecam kebijakan Komisi II DPR yang menolak calon anggota KPU yang berasal dari daerah. Kebijakan wakil rakyat itu merupakan bentuk diskriminatif dan malanggar Undang-undang Dasar (UUD).

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Electorall Reform (Cetro) Hadar Nafiz Gumay kepada Rakyat Merdeka.
Hadar meminta DPR untuk tidak menjadikan asal daerah sebagai pertimbangan dalam memilih calon anggota KPU. Sebab, katanya, peraturan yang mensyaratkan calon anggota KPU harus berasal dari Jakarta adalah bentuk diskriminatif antara Jakarta dan daerah.

“Calon anggota KPU jangan dibatasi hanya dari Jakarta. Yang penting masih dalam wilayah NKRI, dan mempunyai kemampuan dalam menjalankan tugas-tugas KPU maka siapa saja bisa mencalonkan diri,” jelas Hadar.

Sebelumnya diberitakan, anggota Komisi II DPR Agus Purnomo mengungkapkan calon anggota KPU ke depan harus berasal dari Jakarta.
Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan hambatan komunikasi anggota KPU saat bertemu dengan pejabat tinggi negara seperti presiden, menteri dan DPR.
Hadar mengakui, anggota KPU sekarang memang punya banyak masalah termasuk dalam membangun komunikasi dengan para pejabat tinggi.

Namun, lanjutnya, hal tersebut lebih dikarenakan anggota KPU saat ini tidak bisa menempatkan posisi lembaga KPU pada tempat yang semestinya.
“Harusnya anggota KPU bisa duduk sama tinggi dengan para pejabat lain. Dengan begitu, KPU bisa berani mengambil keputusan dengan tegas tanpa intervensi dari pihak lain,” tegasnya.

Dijelaskan, ketidakmampuan anggota KPU dalam membangun komunikasi bukan karena anggota KPU berasal dari daerah, melainkan karena anggota KPU tidak berani dan mandiri.
“Masalah menjalin komunikasi itu bukan karena mereka berasal dari daerah. Tapi karena anggota KPU-nya yang tidak punya karakter dan tidak mandiri,” ugkapnya.
Menurutnya, ada banyak orang dari daerah yang mempunyai karakter sehingga tidak bisa diintervensi.

Hadar justru menilai, kegagalan anggota KPU saat ini adalah bentuk kegagalan Komisi II DPR dalam memilih anggota KPU yang berkualitas.

“Dulu sudah banyak kalangan yang menolak anggota KPU sekarang, tapi tetap saja dipilih. Ini kan karena dalam pemilihannya bukan atas penilaian kemampuan, tapi atas dasar kepentingan partai-partai,” tandasnya.

Senada diungkapkan Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif Sugiyanto. Menurut Sugiyanto, peraturan yang mensyaratkan calon anggota KPU harus berasal dari Jakarta adalah bentuk pelanggaran terhadap Undang-undang Dasar (UUD).

“Tidak hanya diskriminatif, tapi aturan tersebut melanggar Undang-undang Dasar. Dalam undang-undang kan sudah jelas ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Jika peraturan tersebut dijalankan, maka orang dari Papua atau daerah lain tidak bisa menjadi anggota KPU dong,” kata Sugiyanto kepada Rakyat Merdeka.

Katanya, jika peraturan orang daerah tidak boleh jadi calon anggota KPU itu dicantumkan dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, maka aturan itu melanggar UUD.

“Tapi, jika hanya menjadi kesepakatan Komisi II dan dijadikan pertimbangan dalam memilih calon anggota KPU, berarti Komisi II sudah melakukan kejahatan politik, berarti Komisi II DPR sudah merekayasa dan melakukan kejahatan politik,” tegasnya.
Terkait hamabatan psikologis anggota KPU dalam komunikasi dengan pejabat tinggi negara, Sugiyanto menilai hal tersebut bukan dikarenakan anggota KPU berasal dari daerah.

Tapi, masih katanya, anggota KPU tidak menyadari pentingnya lembaga KPU dalam sistem negara demokrasi yang keberadaannya diakui oleh undang-undang.

“KPU kan lembaga yang tidak kalah pentingnya dalam menjalankan demokrasi Indonesia. Anggota KPU harus menyadari betul bahwa lembaga KPU diakui oleh undang-undang. Jadi tidak boleh merasa rendah pada saat bertemu pejabat tinggi negara seperti Presiden, menteri dan DPR,” tuturnya.

Menurutnya, dampak psikologis anggota KPU saat bertemu pejabat tinggi negara karena dana anggaran KPU dipersulit pencairannya.

“Setiap ada pemilu, KPU kan harus mengajukan dananya ke presiden dengan persetujuan DPR. Nah, mungkin karena takut dipersulit itu anggota KPU jadi merasa rendah,” tandasnya.
CR-BCG

No comments:

Post a Comment