Monday, August 9, 2010

Putusan MK Liar Bikin Sistem Pilkada Kacau DPR Bakal Tanya Mendagri Soal Sengketa Kobar

Putusan MK Liar Bikin
Sistem Pilkada Kacau

DPR Bakal Tanya Mendagri Soal Sengketa Kobar

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir kemenangan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sugianto-Eko Soemarno di Pilkada Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah (Kalteng) masih berbuntut panjang.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampouw menilai MK banyak melahirkan putusan di luar kewenangan yang diamanatkan undang-undang seperti putusan sengketa Pilkada Kobar.

“Kita harus menghentikan putusan MK yang dibuat di luar wewenangnya. Ini liar dan membuat sistem pilkada kacau," ujar Jerrry kepada Rakyat Merdeka.
Jerry lalu mencontoh kasus Pilkada Kobar. Menurutnya, KPUD tak bisa melaksanakan putusan MK yang mendiskualifikasikan keputusannya.

“Lalu siapa yang melaksanakan? Apakah KPUD, DPRD, Depdagri atau MK? Jika putusan MK tak ada yang mengeksekusi bagaimana?" tanyanya.

Perlu diketahui, polemik Pilkada Kobar muncul ketika, pada 7 Juli 2010, MK mengeluarkan putusan No 45/2010 yang membatalkan putusan KPUD Kobar yang memenangkan pasangan Sugianto-Eko Soemarno sebagai Bupati-Wakil Bupati terpilih.

Lalu, MK memerintahkan KPUD Kobar untuk menerbitkan surat keputusan baru yang memenangkan pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto sebagai Bupati-Wakil Bupati Kobar terpilih.
Tapi, KPUD Kobar menolak melaksanakan putusan MK itu. Mendagri pun tidak bisa melaksanakan putusan MK itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo menilai, MK tidak konsisten dalam putusannya mengenai sengketa pilkada.

“Misalnya kasus money politics di Pilkada Nias dan Kobar putusannya bisa berbeda. Jadi, putusan MK ini menyebabkan penolakan dari KPUD, masyarakat di Kobar,” jelas Ganjar kepada Rakyat Merdeka.

Meski demikian, kata Ganjar, Komisi II DPR akan berhati-hati dan tidak akan gegabah dalam memutuskan sengketa Pilkada Kobar.

Karena itu, lanjutanya, Komisi II DPR bakal mempertanyakan sengketa Pilkada Kobar ini dengan Mendagri Gamawan Fauzi dalam raker.
Selain itu, anggota akan menanyakan pengangkatan carateker atau pejabat sementara Bupati Kobar.

“Setelah reses kita akan menggelar raker dengan Mendagri untuk
mengkonfirmasi masalah ini. Tak hanya sengketa Pilkada Kobar saja, tapi sengkeda pilkada lain,” tandasnya.

Sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi di acara Ulang Tahun Ke-48 Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) mengungkapkan sudah menunjuk careteker atau Plt Bupati Ahmad Ridwansyah. Hal ini merupakan jalan tengah untuk mengisi kekosongan hingga terpilih kepala daerah definitif.

Sementara, kuasa hukum pasangan Bupati- Wakil Bupati Sugianto dan Eko Soemarno, Humprey Djemat menyatakan banyak kejanggalan dalam putusan MK di Pilkada Kobar.
Misalnya, putusan MK dinilai kental unsur pidana, saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan MK hampir seluruhnya dari pemohon, saksi-saksi itu diduga memberikan keterangan palsu.

Kejanggalan lainnya, hakim MK telah melampaui kewenangannya dengan memberikan amar yang mendiskualifikasi pasangan Sugianto-Eko Soemarno dan memeritahkan KPUD Kobar mengeluarkan SK baru yang memenangkan pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto.

Tidak hanya itu. Katanya, putusan MK itu salah. MK membatalkan putusan KPUD Kobar No 62/2010 mengenai jumlah suara. Harusnya, MK membatalkan SK No 63/2010 soal penetapan pasangan calon Bupati-Wakil Bupati Kobar terpilih. “Jadi, MK tidak cermat dan terkesan memaksakan,” katanya.

Ditempat terpisah, bekas hakim MK, Laica Marzuki, menyatakan putusan MK soal Pilkada Kobar tidak salah. MK telah menjalankan fungsinya untuk mengadili dan telah memutus perkara sesuai dengan keyakinannya. “Itu sudah final dan mengikat,” kata Laica kepada Rakyat Merdeka.

Tapi, katanya, manakala ada dugaan saksi-saksi palsu di Pilkada Kobar, maka ini jadi kewenangan penyidik polri untuk mengusutnya dan kasus pidananya dilanjutkan kekejaksaan.

“Mari kita menahan diri untuk tidak berpikir macam-macam terhadap MK,” katanya.
Sedangkan, anggota Hakim MK Akil Mukhtar menilai, pihak yang melawan kepada putusan MK adalah perbuatan melawan hukum.

“Mana boleh KPUD itu menolak putusan MK. Dalam Undang-undang pemilu sudah ditegaskan bahwa KPUD wajib melaksanakan keputusan dari Mahkamah Konstitusi,” tegasnya kepada Rakyat Merdeka, Jum’at (6/8).

Menurut Akil, jika KPUD menolak putusan MK hal tersebut adalah preseden buruk dalam proses demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Karena, kata dia, pengadilan sengketa pemilu itu adalah bagian dari tahapan pemilu yang keputusannya final dan mengikat.

“KPUD itu tidak ada dalam posisi menilai putusan MK. Tapi posisinya adalah pelaksana putusan MK. Kalau KPUD masih menolak berarti KPUD telah melakukan perlawanan kepada hukum,” jelasnya.

Ditambahkan, jika KPUD tidak melaksanakan putusan MK, kata Akil, KPUD bisa dituduh melakukan tindakan unprofesional karena telah memihak kepada salah satu calon.
“KPUD bisa diajukan ke badan kehormatan dan bisa diberhentikan dengan tidak hormat karena sudah berpihak kepada salah satu calon. Tidak boleh KPUD berpihak kepada salah satu calon,” paparnya.

Lebih lanjut, Akil menilai, jika KPUD tidak melaksakan putusan MK, maka akan mengancam proses demokrasi dan penegakan hukum.

“Jika ada keputusan sesuai dengan pilihannya (KPUD), maka keputusan MK dilaksanakan. Tapi jika tidak sesuai dengan harapan, KPUD tidak melaksakan. Lalu apa gunanya sidang di MK.”

Terkait pengangkatan caretaker di Kota Waringin Barat oleh gubernur, Akil menilai hal tersebut sudah sesuai dengan dengan ketentuan undang-undang. Hal tersebut dikarenakan belum ada keputusan dari KPUD terkait siapa pemenang pilkada di Kobar.

“Pengangkatan careteker sebagai penanggung jawab sementara oleh gubernur sudah sesuai ketentuan undang-undang. Karena dalam undang-undang tidak boleh ada kekosongan kepemimpinan,” tutupnya.
CR-BCG/QAR

No comments:

Post a Comment