Tuesday, August 3, 2010

Uang Masih Jadi Penentu Kemenangan Di Pilkada

Uang Masih Jadi Penentu
Kemenangan Di Pilkada

Justru Banyak Pemimpin Berkualitas Yang Kalah

Rakyat Merdeka,
Sejumlah pengamat mengaku prihatin dengan maraknya money politics atau politik uang di sejumlah pilkada.
Menurut pengamat komunikasi politik Prof Tjipta Lesmana, calon kepala daerah masih menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan di pilkada.
Akibatnya, kata Tjipta, banyak calon pemimpin berkualitas justru tidak terpilih. “Saat ini kekuatan uang masih menjadi penentu kemenangan di sejumlah pilkada,” jelas Tjipta kepada Rakyat Merdeka.

Karena itu, Tjipta mengingatkan agar masyarakat cerdas dalam menilai dan memilih calon kepala daerah. Masyarakat, lanjutnya, jangan sampai tergoda oleh politik uang seperti yang marak terjadi di sejumlah pilkada.

Jika salah memilih, justru masyarakat yang akan rugi.
“Sekarang ini kan masyarakat kita itu ingatannya pendek. Dikasih uang 20 ribu, sudah lupa dan dia langsung dipilih lagi. Ya sudah, akibatnya ditipu lagi,” jelasnya.
Dikatakan, untuk menghasilkan pemimpin berkualitas, dibutuhkan proses demokrasi yang berkualitas juga. Untuk itu, dalam prosesnya dituntut calon pemimpin dan rakyat yang cerdas.

“Calon pemimpin harus cerdas jangan berjanji yang tak masuk akal. Tapi rakyat juga harus cerdas, jangan memilih kepala daerah yang janjinya tak mungkin dipenuhi,” tutur Tjipta.

Tjipta mengakui janji calon kepala daerah dalam kampanye pilakda adalah hal lumrah. Sebab hal tersebut sebagai bentuk komunikasi antara calon kepala daerah dengan masyarakat.

Namun, kata Tjipta, calon kepala daerah yang hanya obral janji namun tidak bisa merealisasikan, maka jangan dipilih kembali di pilkada.
“Orang berjanji dalam pemilu sah-sah saja. Jika tidak bisa dipenuhi berarti sudah melanggar. Oleh karena itu harus diberi sanksi, ya jangan dipilih kembali jika dia mencalonkan lagi,” ujar Tjipta.

Ditempat terpisah, pakar otonomi daerah Ardian Saptawan menilai, banyaknya kepala daerah yang tidak merealisasikan janjinya saat kampanye karena lemahnya pengawasan dari pihak legislatif daerah dan masyarakat.

Seharusnya, kata dia, visi misi dan janji-janji calon kepala daerah saat kempanye dimasukkan dalam dokumen daerah. Hal ini agar bisa dijadikan penilaian apakah kepala daerah benar-benar memperjuangkan janjinya atau tidak. “Dari dokumen tersebut seorang kepala daerah bisa dievaluasi. Apakah memperjuangkan kepentingan masyarakat, ataukah justru memperjuangkan kepentingan golongan atau partainya,” kata Ardian.

Ardian berharap, ke depan kepala daerah bukan saja melakukan kontrak politik, tapi juga membuat citizen carter atau kontrak sosial seperti yang dilakukan di Inggris.
“Saat ini kan kontrak politik adalah sesuatu yang normative, hanya jargon. Dengan kontrak sosial diharapkan mempunyai fungsi moral. Sehingga masyarakat bisa menuntut,” tutupnya. CR-BCG

No comments:

Post a Comment